Lampung Selatan, Datalampung.com - Insiden pelarangan terhadap wartawan kembali terjadi di wilayah Lampung Selatan. Kali ini, pelarangan peliputan dialami sejumlah jurnalis saat Komisi III DPRD Lampung Selatan melakukan kunjungan kerja ke PLTU Sebalang pada Senin, 26 Mei 2025.
Dalam kunjungan tersebut, Komisi III menindaklanjuti aduan masyarakat terkait Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 13 orang pegawai PLTU yang diketahui merupakan warga sekitar dan telah bekerja lebih dari lima tahun di perusahaan tersebut.
Namun ironisnya, wartawan yang hadir untuk meliput jalannya pertemuan justru dilarang mengambil gambar maupun meliput proses dialog antara wakil rakyat dan pihak manajemen PLTU, padahal wartawan tersebut merupakan wartawan yang ikut rombongan anggota DPRD Lamsel.
Salah satu wartawan yang mengalami langsung perlakuan diskriminatif tersebut, Gelly Anthoniyos, ia mengatakan bahwa alasan yang diberikan oleh pihak PLTU adalah pertemuan bersifat tertutup dan hanya untuk undangan.
“Padahal kami masuk sebagai bagian dari rombongan DPRD. Ini bentuk diskriminasi dan pembungkaman terhadap kerja jurnalistik,” tegas Gelly.
Dalam keterangan persnya, Ketua Komisi III DPRD Lampung Selatan, Taman, membenarkan bahwa pertemuan berlangsung cukup panas.
Ia menyebut pihak PLTU Sebalang awalnya menolak untuk mempekerjakan kembali ke-13 pegawai yang di-PHK. Namun setelah perdebatan panjang, PLTU akhirnya bersedia menerima kembali sembilan orang, sementara empat sisanya masih menunggu keputusan lebih lanjut tanpa batas waktu yang jelas.
Taman menyampaikan bahwa hasil investigasi DPRD menyimpulkan PHK yang dilakukan PLTU terhadap para pegawai tidak sesuai prosedur. "Kami mengeluarkan rekomendasi agar semua pekerja yang di-PHK bisa kembali dipekerjakan. Sayangnya, pihak perusahaan tidak bisa mengabulkan seluruhnya," ujarnya.
Politisi asal Kecamatan Sragi itu menyesalkan sikap tertutup pihak PLTU terhadap jurnalis. “Ini bukan hanya soal pekerja yang di-PHK. Tapi juga soal transparansi publik. Wartawan seharusnya diberi ruang untuk meliput agar masyarakat mengetahui kebenaran,” tutup Taman.
Peristiwa ini menambah daftar panjang praktik diskriminasi terhadap insan pers di Indonesia, yang seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999.